[Beijing Fall, 2011] The Food and The Shopping Experience

The Food

Food I ate

Tentu saja susah banget cari makanan halal di sini. Karena pertanyaan “Makanan ini pakai pork atau nggak?” aja belum cukup. Tidak mengandung daging babi kan bukan berarti bebas dari minyak babi atau unsur-unsur daging tidak halal tersebut. Not to mention yang juga ditambah arak atau angciu sebagai pewanginya. Jadi kalimat yang paling ampuh ketika kita berkunjung ke Beijing tidak dengan rombongan muslim adalah “Bismillah aja yah” hahaha.. *huks*

Itulah kiranya yang terjadi selama lima hari saya menetap di sana. Rasanya iri banget lihat catatan Ollie tentang pengalaman jalan-jalannya ke Beijing, yang sesuai dengan judul, semuanya tampak Worry Free. Kalau saya, makanan yang sudah terjamin kehalalannya cuma didapatkan di pesawat. Selebihnya ya Bismillah dan nikmati saja.

Yoshinoya

Hari pertama tiba di Beijing, saya dan teman-teman memilih makan di salah satu fastfood dekat hotel, Yoshinoya. Saya memilih paket nasi dengan ayam katsu dan sayuran. Yang saya suka cuma rasa nasinya yang pulen saja. Ayamnya seperti kurang matang dan sayurnya seperti hanya ditumis dengan minyak dan garam saja. Bagi saya yang gemar memasak dan uji coba rasa, yah well cuma bisa berdecak kecewa saja.

Bebek Peking

Makanan selanjutnya yang saya coba adalah Bebek Peking di sebuah resto yang terletak di dalam Jalan Wangfujing. Ketika sebagian dari teman-teman saya asyik berbelanja di toko-toko branded di sana, saya, Dheya, dan Renna memutuskan untuk mencicipi salah satu makanan yang harus dicicipi sebelum kita mati ini. Sebenarnya menu bebek Peking sudah sering saya temui di berbagai undangan pesta pernikahan. Tapi Bebek Peking di resto ini memang oke punya. Kami bertiga memesan porsi setengah bebek. Daging dan kulitnya dipisahkan oleh si bapak penyaji. Yang saya cicipi terlebih dahulu tentunya adalah bagian kulit. OH MY GOD!! it was heaven! crunchy banget, truss pas digigit keluarlah itu minyak alami dari si bebek. Mau dimakan begitu aja, atau dibungkus dengan semacam tortila-nya, sama enaknya. Seharusnya orang Cina mengubah pepatah mereka jadi 不 吃 北 京 烤 鸭 非 好 汉 (belum jadi orang Cina sejati kalau belum makan bebek Peking ;)). Definitely worth the price. Daging bebeknya pun rasanya lembut dan dipadu dengan saus khusus yang mereka sediakan, saya mau deh seharian itu nggak makan apa-apa lagi selain bebek ini.

Sebelum makan bebek Peking ini, pengalaman kuliner saya sempat kembali rusak ketika makan pangsit isi di Tembok Besar Cina. Karena sudah terlalu lapar, akhirnya apapun dimakan deh daripada maag kumat. Salah satu bahan yang dipakai untuk pangsit isi di tempat makan ini adalah coriander. Saya nggak suka banget rasa herba yang satu itu, bikin pusing.

Korean Fried Chicken

Di malam hari pertama, sepulang dari Beijing Olympic Stadium, kami sempat dibawa (oleh Ali) ke salah satu resto Korea. Di sana kami memesan ayam goreng yang menjadi menu rekomendasi dari Ali. Selain itu kami juga memesan sup yang disajikan di pot raksasa dan sebuah menu andalan resto tersebut, ayam dengan bumbu pedas luarrr binasa. Ayam goreng yang direkomendasikan oleh Ali rasanya nyummo banget, ditambah lagi sambal cocolan sebagai extra-nya. Tapi dua menu lainnya biasa aja. Ayam bumbu pedas luar binasa itu akhirnya nggak ada yang makan. Rugi bandar! nyesel banget mesennya. Apa banget deh pedesnya kayak mau ngebunuh lidah. Truss sup raksasanya malah kayak kurang bumbu. Rasanya pengen banget mengulang hari itu dan mesen hanya 3 porsi besar ayam goreng dan nasi aja. The fried chicken is to die for. Duh ini jadi terbayang-bayang lagi deh sekarang. I want my Korean fried chicken.

Di resto Korea itu kami nggak lupa memesan nasi putih tambahan untuk dibawa ke Hotel. Jangan pernah mengira akan sangat mudah menemukan nasi putih di Beijing saudara-saudara. Itu semua hanyalah mitos. Nggak seperti warteg-warteg di sini yang menjual nasi kosongan (tanpa lauk), kita akan disambut dengan gelengan tegas saat meminta nasi kosongan di warung makan pinggir jalan di Beijing. Harus beli sama lauknya sekalian, bisa minta nasi tambahan sih, tapi kan tetep aja mubazir lauknya. Nggak jelas juga halal atau nggaknya.

Bekal dari rumah

Selama beberapa kali makan siang, saya memakan nasi kosongan ini dengan lauk yang saya bawa dari rumah. Tadinya ande mau membekali saya daging dendeng atau rendang. Tapi ujung-ujungnya cuma dibawain mie instant tuh :D. Telur rebus di dalam gambar, saya dapat dari hasil mencuri-curi bungkus menu sarapan hotel. Dan Tao Kae Noi ini terinspirasi dari bekal Azizah dan Imam waktu perjalanan ke Solo lebaran kemarin. Mie instant nya diseduh di gelas hotel yang Alhamdulillahnya besar dan mumpuni itu. Dengan menu yang kayak gini, saya rasa sensasi kenyangnya datang justru dari euphoria makan bekal dari rumah di negeri orang hehehe.. 😛

The Shopping Experience

The Wangfujing Street

Emang dasar tukang makan ya, segitu panjangnya ngejabarin pengalaman makan di negeri orang. Nah nggak usah berharap banyak dari cerita belanja saya di sana. Melati teman saya yang ikut pada rombongan ini sepertinya punya lebih banyak cerita. Tapi saya akui harga barang-barang di Cina murah-murah sekali. Meskipun mereka terkenal dengan negara peniru yang sangat handal. Saya akui barang-barang tiruan mereka tidak terlihat murahan sama sekali.

Wangfujing adalah salah satu pusat perbelanjaan yang kami kunjungi. Saya pribadi sempat dua kali mengunjungi tempat ini. Pertama saat nggak bawa banyak uang dan belum tau mau ngeluarin uang berapa untuk ngirim paket buku ke Indonesia, jadinya harus berhemat. Kali kedua adalah saat semua urusan kirim paket sudah beres dan dapat uang saku pulak dari panitia. Sebagian besar oleh-oleh saya beli di sini. Lumayanlah, nggak sampai 100 yuan sudah bisa beli oleh-oleh untuk semua orang.

Di hari ke empat, saya, Ratih, dan Diana pergi ke salah satu pertokoan yang menjual berbagai barang fashion dari tas, baju, sepatu, kacamata, sampai aksesori iPhone dan iPad. Di sini saya akhirnya bisa juga belanja untuk diri sendiri haha.. Karena tempat ini adalah tempat para mahasiswa biasa belanja, jadi harganya juga murah-murah. Ali yang merekomendasikan tempat ini pada kami.

Sempat ada cerita menarik di tempat belanja ini. Teman saya mewanti-wanti sejak awal sampai ke Beijing. Kalau mau belanja di sini menawar harga jangan tanggung-tanggung. Kalau di Indonesia kita biasa menawar dengan menurunkan harga beli sampai 50% dari yang ditawarkan, di Beijing tawarlah lebih rendah dari itu. Saya nekat mempraktekkan teori ini di salah satu toko legging. Awalnya tentu saya pegang-pegang dulu dong legging itu, lalu mendekatlah si ibu-ibu pemilik toko dengan alat andalan mereka, kalkulator. Nggak pakai saya tanya berapa harga legging itu, si ibu ini sudah menyodorkan kalkulator itu ke arah saya. Angka 50 tertera di sana. Oke, saya tawarlah legging itu dengan harga 15 yuan, dengan bahasa Cina. Si ibu menyingkirkan kalkulatornya. Bilang oke deh bisa 15. Saya kaget dong, kok bisa semudah itu dia kasih barang itu ke saya? Saya bilang aja, kalau 15 oke saya ambil 3. Truss dia ambil lagi kalkulatornya, angka 150 dia ketik di sana. Lho? ya saya bingung lagi dong. Kalo satunya 15, kenapa 3 bisa jadi 150? itungan dari mana? Si ibu itu terlihat ikut kebingungan bersama saya. Ujung-ujungnya dia menyuruh saya menunjukkan kepada dia uang 15 yuan yang saya maksud. Ibu itu langsung melotot dan meneriaki saya “Sudah gila ya? kamu berasal dari mana sih? ha? becanda kali!” begitulah kiranya terjemahan bebasnya. Saya senyum-senyum saja santai, lalu pergi menjauh dari toko itu.

Usut punya usut ternyata ada kesalah pahaman antara saya dan ibu itu. Saya menawar barang yang dia jual dengan mata uang Cina (renminbi) tentunya. Tapi ibu itu mengira saya akan bayar dengan Dollar Amerika. Lho? saya ini orang Indonesia bu, mau saya bayar pake rupiah, gimana? Kejadian ini sempat membuat saya kehilangan Ratih dan Diana. Tapi karena jilbab yang saya pakai, ketika Diana dan Ratih bertanya pada salah satu penjual, mereka langsung bisa mengenali saya. Hehehe.. ada untungnya juga jadi minoritas di tempat itu 😛

Begitulah kiranya kisah perjalanan saya di Beijing selama lima hari kemarin. I am looking forward for another chance of going abroad for free. Apalagi ditambah dengan ilmu dan buku-buku yang bisa dibawa pulang. Thankyou Allah for YOUR blessings on me.

Bee

[Beijing Fall, 2011] The Great Wall of China

Ada satu pepatah Cina yang berbunyi 不 到 长 城 非 好 汉 yang artinya kurang lebih adalah “Belum menjadi orang Cina sejati kalau belum pernah ke Tembok Besar Cina”. Mungkin karena pepatah ini dan tentu saja karena bangunan ini merupakan salah satu kebanggaan bangsa Cina, panitia akhirnya memasukkan kunjungan ke tempat ini ke salah satu jadual pelatihan. Rombongan sudah harus standby sejak jam 8 pagi untuk perjalanan menuju Mutianyu, salah satu titik wisata di sepanjang Tembok Besar Cina (dalam bahasa Cina adalah Chang Cheng).

Perjalanan menuju Mutianyu memakan waktu kurang lebih satu jam melintasi perkotaan dan pedesaan di Beijing. Saya tentu saja memilih kursi di dekat jendela. Sempat menikmati pemandangan gedung-gedung apartemen di perkotaan, sampai akhirnya tertidur lelap. Saat kembali membuka mata, saya sudah disuguhkan pemandangan yang jauh berbeda. Gedung-gedung sudah berganti dengan rumah-rumah asri dan pepohonan yang rindang. Saya langsung jatuh cinta. Bahkan sampai saat saya membuat postingan ini, masih terbayang nikmatnya tinggal di pinggiran kota itu. Makan dari hasil kebun sendiri, belanja di pasar yang menjual hasil tanam dan daging-daging segar dari peternakan sendiri. Bukan hanya industri makanan cepat saji dan kalengan semata. Ah! ingin sekali hidup di tempat yang seperti itu.

Tak lama kemudian, kami tiba di lokasi wisata Mutianyu. Lokasi ini ternyata terletak di sebuah kaki bukit. Saya sempat kebingungan saat panitia pemandu berkata kami sudah tiba di lokasi. Sepanjang mata memandang hanya ada toko-toko souvenir saja. Ke mana Chang Cheng yang sering saya temui fotonya di internet itu?

Begitu saya mendongakkan kepala ke langit, jauh di atas sana, di sela-sela rimbunnya pepohonan, saya melihat sebuah bangunan abu-abu. Keciiil sekali. Terlihat sekali betapa jauhnya tempat itu berada. Dan bangunan itu tak lain adalah tembok besar yang dalam beberapa jam ke depan akan kami pijak lantainya. Tapi sebelum itu, kami harus mendaki beribu-ribu anak tangga terlebih dahulu.

Di kaki bukit itu, pada sekitar pijakan 30 anak tangga pertama, saya masih belum sadar dengan apa yang harus saya hadapi di atas sana. Belum, belum jauh ke bangunan bersejarah benteng pelindung bangsa Cina saat peperangan dahulu itu. Belum. Tak lama kemudian, saat nafas saya mulai tersengal, barulah saya sadar kalau saat itu saya sedang berjalan menuju bangunan kecil yang saya intip di bawah tadi. That was a zillion killos away from down here. Dan kami mendaki anak tangga? dengan menghirup udara berbau air seni binatang. Ah! satu-satunya hal yang tidak membuat saya menyerah adalah hasil foto dan cerita utuh yang nantinya akan saya bawa pulang.

Sebenarnya tersedia alternatif lain yang tidak membutuhkan sebegitu banyak energi, yaitu naik cable car atau kereta gantung seperti yang sering kita temui di TMII. Tapi untuk ke atas saja sudah memakan biaya 80 yuan, belum termasuk biaya turun. Sedangkan saya masih harus menghemat untuk mengirim paket buku ke Indonesia. Hal ini juga menjadi salah satu motivasi saya untuk tetap mendaki anak tangga itu. Poor people more healthy indeed eh? :P. Mela dan Diana sudah menyerah dan memutuskan untuk naik lift tersebut. Saya dan Ratih tetap meneruskan perjalanan. Saat nafas rasanya sudah di ujung tenggorokan, saat kaki saya sudah terasa hampir putus, sebuah tembok besar tiba-tiba saja muncul di hadapan kami. Betul-betul tiba-tiba, seperti di dalam dongeng saja. Saya dan Ratih melonjak girang, sambil tak berhenti ngos-ngosan, dan foto-foto tentu saja.

Sampai di Chang Cheng, kami bertemu dengan Dheya dan Renna. Kami sempat berjalan mengunjungi dua buah menara yang aslinya dulu berfungsi sebagai menara pengintai. Sempat bertemu dengan rombongan volunteer dari UK. Pada bagian depan kaus yang mereka kenakan tertulis kalimat “I Trekked The Great Wall Of China” sedangkan tulisan di bagian punggung lebih menjelaskan bahwa mereka adalah sekelompok pendonor ginjal yang pernah mendonorkan salah satu ginjal mereka kepada yang membutuhkan. I wonder how they live their entire life ahead. Salah satu dari mereka adalah muslimah, yang senyumnya langsung merekah saat melihat Dheya yang mengenakan jilbab. Ia langsung ingin mengabadikan moment itu di kameranya. Senyumnya semakin melebar saat melihat saya dan beberapa teman jilbaber lainnya datang menghampiri dan ingin ikut gabung. Jilbaber di Cina memang masih jarang ditemui. Sering kali orang-orang tak berkedip menatap saya dari atas ke bawah lalu ke atas lagi. Betul-betul tak berkedip, sampai kemudian tergagap saat saya balas menatap mereka. Hahaha.. 😉

Sepulang dari Chang Cheng, kami diantarkan oleh panitia ke salah satu shelter bus untuk kemudian naik salah satu bus menuju Tian An Men.

Kami lagi-lagi berpisah jalan. Dheya dan Renna yang kakinya entah terbuat dari apa, berjalan cepat sekali di depan. Meninggalkan saya, Ratih, Mela, dan Diana yang lebih memilih untuk jalan santai saja. Di sini ada beberapa polisi Cina (semacam Polisi Militer) yang berdiri di beberapa titik lapangan Tian An Men ini. Mereka benar-benar berdiri tak bergerak. Hanya dalam waktu-waktu tertentu mereka akan berjalan dalam satu garis lurus dengan gerakan yang teratur. Diana yang sepertinya punya fettish tertentu terhadap pria berseragam berkali-kali meminta kami mengambil fotonya bersama polisi-polisi tersebut. Tak ada satupun dari kami yang mengabulkan permintaannya, karena hal itu terdengar salah. Betul saja, ketika Diana dengan nekatnya meminta izin pada salah satu polisi untuk mengambil foto bersama, polisi tersebut langsung menolaknya mentah-mentah. Tetap dengan sikap sempurnanya. Saya, Mela, dan Ratih hanya bisa tertawa-tawa geli.

(masih) bersambung...

Bee

[Beijing Fall, 2011] Leisure

Lima hari di Beijing tentu saja nggak cukup untuk meng-eksplore Beijing. What to expect? sejak awal keberangkatan, berlibur memang bukan sama sekali tujuan saya. Mungkin karena semua biaya ditanggung penyelenggara, saya merasa sudah menjadi kewajiban untuk mengikuti semua acara yang sudah dijadualkan sejak awal. Dan memang semua pelatihan yang diadakan sangat bermanfaat, ditambah lagi peserta pelatihan yang tak lain adalah guru-guru bahasa mandarin dari berbagai negara. Jadi begitu banyak masukan datang dari mereka. Menyenangkan sekali bisa berbagi seperti itu. Semoga acara semacam ini lebih sering diadakan.

Pelatihan biasanya berakhir pada pukul empat sore waktu setempat, setiap harinya. Kami masih punya begitu banyak waktu untuk pergi berkeliling. Di hari pertama, saya dan teman-teman memutuskan untuk mengunjungi bangunan yang baru saja berfungsi di tahun 2008 yang lalu. Apa lagi kalau bukan Beijing National Stadium.

Beijing National Stadium (Bird Nest)

Kami pergi naik taksi, karena nggak mungkin satu taksinya menampung sampai 6 orang, jadilah kami berpisah. Saya bertiga dengan Mela dan Renna, sedangkan 3 orang teman lagi (Dheya, Ratih, Diana) naik taksi yang lain. Kami nggak sempat menikmati kunjungan malam itu, karena dua rombongan yang terpisah ini malah nggak bertemu di lokasi. Saya, Mela dan Rena yang sudah sampai di lokasi terlebih dahulu tentunya menunggu yang belum datang dong. Tapi tunggu punya tunggu Ratih, Dheya, dan Diana nggak juga datang. Capek menunggu selama hampir setengah jam di depan pintu gerbang, kami akhirnya memutuskan untuk masuk terlebih dahulu dan menunggu di dekat bangunan Stadium.

Kami tak dimintai biaya apapun untuk memasuki lokasi ini. Pintu gerbang lokasi wisata dijaga oleh sekelompok polisi yang dilengkapi dengan satu mesin pemindai barang seperti yang kita temui di bandara. Di Beijing, mesin ini bisa ditemui hampir di mana saja. Dari pintu masuk tempat wisata, stasiun bawah tanah, bahkan sampai mall sekalipun. Jadi keamanan barang bawaan benar-benar terpindai dengan baik, bukan hanya dengan alat pendeteksi metal yang biasa dipakai sebagai pendeteksi barang bawaan pengunjung di Indonesia. Itu lho yang berbunyi beep setiap memindai semua tas pengunjung, yang berisi bom ataupun tidak. Siapa yang bodoh sih sebenarnya?

Oops sori, hilang fokus 😛

SMS dan telephone benar-benar nggak bisa membantu di sini. Dari kami ber-6, hanya Dheya yang membeli nomor lokal, itupun agar bisa mengaktifkan bbm selama di Beijing, dan entah kenapa gagal. Akhirnya hanya dapat dipakai untuk sms biasa. Renna dan Mela nggak berhenti berusaha mengirim sms untuk Ratih dan Diana. Nggak ada satupun yang dibalas. Blackberry saya nggak berfungsi sama sekali, tak usahlah ditanya kenapa :P. Akhirnya setelah kurang lebih satu jam diserang rasa panik dan khawatir, plus didesak kandung kemih yang kepenuhan (khusus saya) ada sms yang dibalas. Mereka bilang kalau sudah menunggu di depan pintu satu sejak lama. Pintu satu kan tempat kami menunggu tadi, kok nggak ketemu ya? Akhirnya kami memutuskan untuk kembali ke lokasi itu dan kembali menunggu di sana. Untungnya tak lama setelah kami kembali ke pintu satu Dheya, Ratih, dan Diana muncul.

Wajah Diana terlihat kusut sekali, dia langsung mengeluh lapar. Dan tentu saja yang lapar bukan hanya dia. Kami melanjutkan perjalanan untuk bertemu dengan seseorang bernama Ali. Seorang pelajar Indonesia di Beijing yang sehari-harinya bekerja paruh waktu di sebuah kantor jasa pengiriman. Ali ini yang nantinya kami titipi berkardus-kardus paket buku yang juga kami dapatkan dari Hanban University. Pertemuan dengan Ali malam itu juga untuk membicarakan hal ini. Ali mengajak kami ke salah satu resto Korea langganannya (gonna make another post talking about food ;)). Setelah makan kami berpisah dengan Ali, karena teman-teman yang lain memutuskan untuk mampir dulu di mall seberang jalan.

Hari itu kami baru sampai hotel sekitar jam 11 malam. Kaki saya sudah pegal berjalan. Karena nggak banyak angkutan umum yang bisa kami pakai di sana. Nggak berani naik bus karena takut nyasar, sedangkan taksi (entah kenapa) meski selalu berseliweran setiap saat, agak susah untuk dipanggil. Kalaupun ada, supirnya udah kayak rampok. Jarak yang kalau dengan argo biasa hanya menghabiskan sekitar 30 yuan, si supir minta tarif sampai 100 kuai. GILA!!

Bersambung...

Bee

[Beijing Fall, 2011] Arrival

Akhirnyaaa dapat juga kesempatan untuk pergi ke Beijing. GRATIS. What else can i say? I am blessed 😀

Beberapa bulan yang lalu, teman saya -Ratih- bbm saya mengabarkan ada sebuah pelatihan guru di Beijing, yang diselenggarakan oleh Hanban University. Dia mengajak saya untuk mendaftar bersama-sama dan tak lupa pula menambahkan informasi (menekankan lebih tepatnya lagi) kalau segala bentuk akomodasi –tiket pesawat PP, tempat tinggal, makan pagi siang malam- akan ditanggung oleh pihak penyelenggara. Caranya hanya dengan mendaftar saja lewat website penyelenggara. Ratih mengusulkan agar kami mendaftar bersama-sama lewat Universitas Al Azhar. Di sana akan ada dosen dari Cina yang membimbing kami mengisi formulir online itu. Saat Ratih mendaftar, saya sedang tidak ada waktu. Akhirnya saya baru mendaftar beberapa hari setelahnya. Saya datang sendirian ke Al Azhar, bertemu dengan 老 师* yang ada di sana, lalu mengisi formulir langsung di komputer milik 老 师 nya.

Tunggu punya tunggu, Ratih mengabarkan kalau dia sudah diterima. Saya agak kurang percaya diri, karena kurang optimal saat mengisi pertanyaan-pertanyaan yang ada pada formulir. Tapi saat saya buka lagi akun saya pada website hanban, saya sempat termenung saat melihat tulisan ACCEPTED di bawah foto. This is unbelievable. Saat itu sekitar satu bulan sebelum keberangkatan. I was like “so, am i really will go to Beijing? for free? REALLY?” Udik banget kan? EMANG. Dan oh, cerita selama di sana lebih udik lagi.

Welcome to Beijing

Jadi menurut jadual yang diberikan panitia, kelas kami (Putaran ke 4/ Kelas D) seharusnya dimulai sejak hari senin, 10 Oktober 2011. Tapi kemudian saat kami menerima tiket pesawat di sana tertera tanggal keberangkatan adalah hari Selasa, 11 Oktober 2011 pukul 10 malam. Jelas dong kami akan melewatkan dua hari pelatihan. Saya dan teman-teman yang dikirim dari Indonesia lainnya (yang kemudian bekomunikasi lewat e mail) sangat kecewa dengan hal ini. Tapi apa boleh buat, tiket sudah fix untuk tanggal tersebut.

Akhirnya hari Selasa malam itu kami berkumpul di terminal 2E Bandara Soeta, seharusnya sih di Solaria. Tapi karena kesalah pahaman info, akhirnya kami baru benar-benar berkumpul saat check in. Saya yang sudah nggak sabar menunggu sejak paginya (sempat ngajar dulu loh itu) sudah berasa agak-agak pusing dan panas. That’s what happens when i get nervous actually hoho 😀

Sempat ketar ketir mengikuti teman-teman lainnya yang jelas sudah lebih gape mengurusi segala printilan dan proses-proses yang harus dilakukan di bandara. As i never gone abroad before, so in this case i’m newbie.

Sampai pesawat alangkah kecewanya saya karena nggak bisa duduk berdekatan dengan teman-teman lainnya. Saya malah duduk di samping pasangan muda dari Cina yang sepertinya habis honeymoon di Indonesia. Yang perempuan seringkali bolak balik ke toilet, melewati saya tentunya. Yang laki-laki pasang tato (terlihat temporary) di lengannya yang besar. Dan saat saya sedang asyik memperhatikan gambar-gambar di layar kecil di depan saya. Mereka malah berciuman. HAAAKKK!! sungguh bukan cara yang tepat terbang ke luar negeri untuk pertama kalinya. Beruntung kami diberikan tiket pesawat Garuda Indonesia yang walaupun beberapa pramugarinya bermuka masam, tapi film-film yang disajikan di layar kecil itu update semua. Jadilah saya puas menghabiskan enam jam perjalanan dengan menonton film-film yang selama ini (hanya) berniat saya tonton. Dan pasangan itu, urgh!! GET A ROOM PLEASE..

Kami sampai di Beijing sekitar pukul 06.30 waktu setempat. Pada email-email yang dikirimkan oleh panitia kami diberitahukan bahwa mereka hanya akan menjemput peserta yang sampai bandara pada malam hari (pukul berapa saya lupa). Jadi kami yang dijadualkan tiba pukul enam pagi harus naik taksi sendiri ke hotel tempat kami akan menginap selama lima hari itu. Panitia hanya memberikan kami alamat hotel, lengkap dengan denahnya. Beruntung saya pergi dengan 5 orang teman kuliah saya dulu. Jadi kami sudah bersepakat untuk patungan taksi saja.

Tapi sampai bandara kami melihat dua orang pemuda yang membawa papan bergambarkan logo Hanban. Kami segerombolan guru dari Indonesia langsung menghampiri dua orang tersebut dan bertanya apakah mereka adalah panitia yang bertugas menjemput kami. Tapi sayangnya, mereka adalah panitia dari lokasi pelatihan yang berbeda dengan kami. Pelatihan guru ini (dari sepengetahuan saya) memang diselenggarakan selama dua bulan sekali di beberapa universitas berbeda. Saya dan teman-teman mendaftar untuk pelatihan di 北京师范大学 (Beijing Normal University).

Kecewa bahwa penjemput itu bukan untuk kami akhirnya saya dan teman-teman mulai memisahkan diri dari rombongan untuk mencari taksi. Namun salah satu peserta (yang juga ternyata adalah dosen Ratih dan teman-teman lainnya di Al Azhar) bersikeras meminta kami untuk menunggu. Tak berapa lama beliau malah bertemu dengan orang dari kedutaan Indonesia di Beijing yang terlihat kebingungan melihat begitu banyak orang Indonesia di bandara Beijing. Ia rupanya tak mengetahui info apapun tentang pelatihan ini. Saya mulai merasa ada yang ganjil dan berdoa semoga ini hanya perasaan saya saja. Saya dan teman-teman mulai bimbang antara ikut permintaan Pak dosen untuk menunggu atau nekat mencari taksi sendiri.

UNTUNG SAJA kami menuruti permintaan bapak dosen itu. Karena tak lama kemudian seorang wanita berambut panjang dengan memakai kaus yang sama dengan gambar yang dikirimkan panitia lewat email, memegang bendera kecil berlogo Hanban muncul dari pintu. Kami langsung menghampirinya dan rasanya mau nangis lega, karena ternyata dia adalah panitia yang bertugas untuk menjemput kami. Di luar sana, di lapangan parkir sudah menunggu sebuah bus besar untuk mengangkut kami semua ke hotel. Kami langsung berlarian mengikuti panitia tersebut yang berjalan terburu-buru sambil membawakan salah satu koper saya.

Satu langkah kami keluar bandara tersebut, udara dingin langsung menyerang. Awalnya saya bingung karena pilot pesawat sempat mengatakan bahwa suhu udara Beijing saat itu adalah 12 derajat. Tapi di dalam pesawat dan bandara hangat-hangat saja tuh. Saat berlarian mengejar nona panitia itulah saya baru percaya. Dingin sekali di sana. Wajah dan telapak tangan saya langsung terasa dingin.

Rasa lega kembali terasa saat kami semua duduk di dalam bus tersebut. Kami tak hanya bisa menghemat beberapa Renminbi, tapi kami juga terhindar dari kemungkinan nyasar di negeri orang. Sampai di hotel kami langsung diberikan Students kit dan juga buku-buku yang sebelumnya kami pesan bersamaan dengan mengisi formulir. Saya sendiri mendapat satu kardus buku-buku menarik yang pastinya sangat membantu kegiatan saya mengajar sesampai di Indonesia nantinya.

Satu hal yang tak berhenti saya panjatkan di dalam hati saya. Rasa syukur yang nggak bisa saya ungkapkan dengan kata-kata. Bagaimana Allah menjawab hampir semua doa saya dengan sempurna. Ini keajaiban, ini bahkan bukan mukjizat. Allah memang maha Besar. Allahuakbar. Tak pernah terbayangkan sama sekali oleh saya bisa menginjakkan kaki di Beijing dengan gratis. Bahkan terbang dengan maskapai terbaik di Indonesia. Dan pelatihan yang saya dapatkan selama lima hari di sana, benar-benar penuh manfaat. Allah memang Maha Tahu kapan waktunya saya harus menerima ini. Terimakasih Allah.. Terimakasih.

Bersambung...
Bee

* 老 师 (lǎo shī) –> guru/dosen.