[Dear, Kung #1] The Marriage

Dingin… Oh… Hangat… Huff… Dingin…

Aku bahkan tak dapat memutuskan apa yang kini kurasakan di dalam hatiku. Sejak hari itu, setengah mati aku mencari sebuah rasa, sebuah getaran yang sekiranya dapat memberiku dingin… Atau hangat, karena panas? Kurasa mustahil.

Namun hasilnya nihil, aku masih saja merasakan tiada.

“Kung.. Di sini sepi dan aku butuh kamu” tiba-tiba saja kudengar suaraku sendiri meneriakkan kalimat itu.

Saat itu aku sedang berdiri entah di mana. Yang pasti di sepanjang pandangan mata yang kulihat hanya kabut. Udara tebal yang membuat semua yang ada di hadapanku satu serupa, kasat. Lalu tiba-tiba bayangan itu melaju lesat ke arahku. Dia! Itu adalah dia! Dan ya, aku semakin yakin itu dia! Aku hafal harum tubuhnya, hari itu kami sempat berpelukan begitu erat, dan saat itu aku menyimpan harum itu di dalam memoriku. Kini, aromanya begitu kuat, begitu dekat. Dia! Di hadapanku, ayo gapai! Ayo gapai!

“Syl! Ayo cepat bangun… Semua orang sudah menunggumu…”

Sekejap itu aku membuka mataku dan aromanya perlahan menghilang. Kembalilah aku merasakan tiada, di kamar besar itu.

Itu suara ibu, yang barusan tadi adalah suara ibu. Rupanya sudah terlalu lama aku terlelap di ruangan itu, susunan bantal dan guling yang sengaja kutumpuk di pinggir ranjang rupanya tak begitu cukup mengkamuflasekan sosok tidurku di baliknya. Tubuh ini kurang ceking sepertinya, besok aku harus berdiet lebih ketat lagi. Seperti baju ini… Argh… Kenapa ketat sekali sih?

“Kenapa nggak bilang-bilang kalo mau tidur sih? Semua orang kelabakan nyariin kamu. Ayo cepat, itu Arifin dan keluarganya sudah menunggu di depan”

Ah… Nama itu, aku meringis kembali mendengar nama itu. Meringis dalam hati tentunya, kalau ibu memergoki ekspresiku itu, bisa panjang nanti urusannya.

“Ya ampun, coba ini lihat! Sampai lecek begini kebayamu, makanya kalau memang tadi mau tidur dulu, ibu khan bisa suruh orang salonnya pending dulu masangin kebaya kamu. Sekarang gimana coba nih? Sebentar deh, ibu panggilin dulu itu orang salonnya” Ibu sibuk sendiri memutar-mutar badanku dan merapihkan kebaya yang melekat di badanku.

“Err Bu… Nggak usah, Syl bisa sendiri kok. Nggak apa, Syl benerin sendiri aja kebayanya. Tadi tidurnya nggak lasak juga khan…” cegahku saat ibu terlihat akan beranjak dari kamar itu.

“Kamu yakin?” tanya ibu.

Aku membalasnya dengan anggukan dan senyuman.

“Bu..”

“Iya nak?”

“Apa ibu bahagia?”

“Maksudnya??”

“Apa ibu bahagia Syl menikah?”

Ibu mengangkat kepalanya menatap wajahku. Kini ia menangkupkan kedua telapak tangannya ke wajahku.

“Kamu anak ibu yang paling cantik… Tentu saja ibu bahagia nak. Akhirnya kamu menikah juga”

Aku tersenyum…

Bu… Asalkan ibu bahagia, ya sudahlah semoga Syl juga bahagia 🙂

***

Kung… Tahu tidak? Hari itu saat aku sampai rumah, tiba-tiba saja ayah menarikku ke kamarnya. Tatapan matanya marah! Aku nggak pernah melihat dia semarah itu Kung! Lalu, ia berteriak di wajahku, menanyakan keberadaanku semalaman itu. Aku nggak mungkin jujur untuk bilang aku bersama kamu khan? Yah toh untuk apa lagi? We will not gonna see each other anymore. Semuanya sudah berakhir.

Kung… Yang aku inginkan saat itu adalah mendengar suaramu, tapi kita harus keras terhadap diri sendiri bukan? Ya sudah, kujauhkan handphone dari jangkauanku. Lalu aku lupa Kung! Yah… Aku berhasil melupakan keinginan itu.

“INI!! Cepat telfon dia dan minta maaf!!!” ayah menyodorkan handphone-nya ke mukaku.

“Untuk apa? Syl nggak ngerasa punya salah kok” jawabku.

PLAK!! Kini tangan kiri ayah mendarat di pipi kananku. Sakitnya tidak hanya di sana, serasa gumpalan di dalam dadaku juga ikut terantuk, lebam.

“Kamu benar-benar ingin jadi perawan tua? Iya? Atau kamu sengaja mencoreng nama baik ayah?” masih dengan nada membentak, ayah kembali berteriak.

Perlahan air mataku menetes. Harus begini? Jadi harus begini aku mengakhiri kesendirianku? Ah persetan! Mungkin memang Tuhan lebih suka memainkan aku sebagai gadis luka. Perlahan kuambil handphone itu dan kupencet nomor-nya.

“Halo dik?” suara di seberang.

“Kak, bisa ketemu? Temenin aku nonton?”

***

Kung, kini dia yang duduk di sampingku. Studio satu XXI Senayan City, ingat Kung? Di sini pertama kali kita nonton berdua. Di barisan atas sana. Oh tidak! Aku nggak akan duduk di sana, itu tempat kenangan kita, bukan untuk orang ini! Bukan pula untuk aku yang sekarang. Oh Kung, filmnya dimulai.

Ya Tuhan! Laki-laki ini bahkan sudah terlihat bosan. Fuhh… kita harus keras terhadap diri sendiri khan Kung? Baiklah..

“Gimana tadi filmnya kak?” tanyaku.

“Yah well… bagus, menarik” jawabnya.

“Cuma itu?”

“Yah.. Err… Begitulah, cuma film khan?”

“Berapa bintang?” tanyaku lagi, sedikit mencoba antusias.

“Hah? Apa?”

OK! dia terbelalak kaget.

“Bintang? kakak kasih berapa bintang?”

“Hahaha… Adek adek, kamu tuh ada-ada aja deh, bintang apa sih? What are you a reviewer??” katanya sambil mengacak-acak rambutku.

Aku mengelak perlahan, membalas tawanya itu dengan senyum tertahan.

“Yah well… Actually… I am, kind of” bisikku.

***

“Saya terima nikahnya Sylvia Haifa Danti binti Yusrizal Anas dengan mas kawin tersebut tunai!”

“sah?”

“saaahh”

Lalu gegap gempita lah ruangan serba guna masjid megah itu. Semua orang memamerkan ekspresi bahagia mereka. Dan aku hanya bisa menahan perih dan sesak dalam dadaku dengan senyuman yang mereka inginkan. Aku bahkan sudah tak dapat lagi mengeluarkan air mata. Bukan! Bukan tak ingin, tapi memang tak bisa.

***

Kung, apa itu tadi benar kamu yang datang ke pesta pernikahanku? Kung… Aku seolah melihat kamu di pintu tadi itu, kamu tidak tersenyum Kung, kenapa? Kamu marah? Maaf Kung… Aku nggak bisa menepati janjiku, aku nggak bisa berhenti jadi boneka.

Kung, masih ingat saat kamu bilang hatimu sudah mati?? Well… Lihatlah aku sekarang, kutunjukkan bagaimana seharusnya memiliki bangkai hati dan masih harus bernafas.

Depok, 17 Des ’09

2 thoughts on “[Dear, Kung #1] The Marriage

Leave a comment